Saya mau re-post ni tulisan saya yang dimuat di salah satu website... semoga bermanfaat....
Sadar Budaya Melalui Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Guna Meredam Arus Global dan Mengembalikan Jati Diri Bangsa.
Oleh: Zul Astri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin.
Sadar Budaya Melalui Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Guna Meredam Arus Global dan Mengembalikan Jati Diri Bangsa.
Oleh: Zul Astri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin.
Salah satu inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep
dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan
yang tidak henti-hentinya dibicarakan, terutama di tengah masyarakat
yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan
terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah
itu menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan perspektif menemukan
kembali jati diri dan identitas bangsa yang sudah mulai terkikis.
Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang berada di
kawasan Asia Tenggara, tidak luput dari pengaruh globalisasi yang terus
saja menggelinding bersama waktu yang juga ikut berputar. Pencerminan
budaya pada era global pada dasarnya telah melampaui pemikiran
modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa)
menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan
oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan
teknologi informasi. Budaya yang muncul pada era pascamodernitas ini
mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial terutama
dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup yang biasanya kita lihat
dari berbagai produk global yang sudah ada dewasa ini.
Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa budaya adalah cerminan
kepribadian bangsa, kalau kita menyalahi norma, itu artinya kita tidak
berbudaya. Sebenarnya pemahaman yang mendasar seperti inilah yang mesti
kita pahami. Namun lain lubuk lain ikannya, lain negara lain pula
budayanya. Indonesia dengan adat ketimurannya harus menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat dari zaman
pendahulu-pendahulu kita. Indonesia adalah negara yang besar, isu-isu
negatif mengenai Indonesia, berkembang bukan kesalahan dari Negara ini
tetapi terjadi karena orang-orang yang mengelola negara ini. Hasil riset
dari Hong kong-based Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC)
versi 8 maret 2010 mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi pertama
negara terkorup di kawasan Asia. Sedangkan Berdasarkan riset Corruption
Perceptions Index (CPI) Indonesia menempati urutan 111 dari 180 namun
statistik ini diurutkan dari negara yang terbersih dari korupsi ke
negara yang terkorup. Apakah kita masih mau bertindak acuh tidak acuh
dengan fakta ini, bukan Indonesia yang korupsi tetapi para pengelola
negara. Sebenarnya mengapa mereka ingin korupsi?. Pertanyaan yang sangat
mendasar tapi sangat sulit untuk mencari esensi jawaban sebenarnya. Ada
yang mengatakan atas dasar kebutuhan ekonomi, untuk lebih sejahtera,
memenuhi kebetuhan tersier (mewah) dan sebagainya. Apakah mereka
termotivasi dengan orang Jepang yang memiliki banyak uang, mobil,
kediaman yang mewah dan sebagainya. Hal tersebut sangat mungkin terjadi
tetapi motivasi mereka salah arah. Mereka ingin maju tetapi dengan cara
yang salah, orang Jepang bisa maju karena keuletan, kedisiplinan dan
kerja keras mereka membuat sebuah inovasi baru, bukan dengan korupsi.
Apakah dengan fakta ini, kita masih bisa mengatakan bahwa pengelola
negara ini memiliki orang-orang yang berbudaya. Sederhananya, orang yang
mengambil milik orang lain artinya orang yang tidak bermoral dan
tentunya menghancurkan budaya yang menjadi cerminan kepribadian bangsa
dan proses penghancuran budaya ini tidak terlepas dari era globalisasi
yang bagaikan pisau bermata dua, dimana disamping dampak positif banyak
pula memberikan dampak negatif yang dapat menghilangkan jati diri
bangsa.
Fragmentasi global yang kekuataannya tidak terelakkan tersebut di
satu sisi justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini
dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini.
Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang mengancam
eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan
budaya (cultural shock). Hal itu terjadi dengan adanya ketidaksesuaian
unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola
kehidupan sosial yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang
bersangkutan. Kebudayaan yang masuk ke suatu masyarakat tidak selalu
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, kondisi seperti
inipun juga dapat menimbulkan keguncangan budaya.
Dengan berbagai dampak negatif yang kita peroleh dari produk
globalisasi kita tidak boleh serta merta mengatakan bahwa kita harus
menolak globalisasi agar identitas dan jati diri bangsa bisa
dikembalikan. Permasalahannya bukan pada era globalisasi semata.
Contohnya saja, negara Jepang yang juga dijamah oleh globalisasi tetapi
dengan kontruksi social masyarakat Jepang yang unik telah menjadikan
Jepang sebagai bangsa yang memiliki identitas kultural yang kuat. Dalam
studi kefilsafatan tentang masyarakat Jepang yang menjadi fokus
perhatian terletak pada tiga aspek kajian utama yaitu
aksiologis,epsitemologis dan ontologis. Dalam aspek aksiologis pada
umumnya meletakkan fondasi dalam lingkup budaya yang berarti mengkaji
tentang adat-istiadat, tradisi dan pakaian tradisional. Kajian ini
sebagai studi relevansi terhadap budaya dalam realitas sosial. Dengan
contoh negara Jepang yang bisa terlepas dari budaya westernisasi maka
kita sebagai pengguna produk global harus bisa menyaring segala hal-hal
yang bisa merusak dan menyebabkan keguncangan budaya dengan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa dengan kembali pada nuansa
kearifan lokal (local wisdom).
Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan
jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya
tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain
kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai
landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Motivasi
menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk
mencari identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan
dialektis atau karena akulturasi dan transformasi budaya yang telah,
sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan.
Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar
kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan kebudayaan
bangsa di atas dasar identitas sejumlah etnik yang mewarnai Nusantara
ini.
Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu
dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi
menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan
lokal pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu
antargenerasi. Oleh karena itu, menjadi semacam imperatif yang mendesak
untuk terus menggali dan ”memproteksi” kearifan lokal yang terdapat pada
setiap etnik lokal lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di
dalamnya melalui pendidikan baik formal maupun informal.
Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal melalui pendidikan sadar
budaya niscaya manusia didik diharapkan tidak terperangkap dalam
situasi keterasingan. Atau menjadi “orang lain” dari realitas dirinya
yang sebenarnya, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu
dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan
lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi sosial budaya.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui
pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai
budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa
dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya “lain”.
Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi
pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh
peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri,
penuh inisiatif, dan kreatif. Dari sinilah pendidikan berbasis kearifan
lokal dapat dikatakan sebagai model pendidikan yang memiliki relevansi
tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) yang mengacu pada
pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah.
Materi pembelajaran harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap
pemberdayaan hidup mereka secara nyata, berdasarkan realitas yang mereka
hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai
dengan kondisi lingkungan hidup, minat, dan kondisi peserta didik. Juga
harus memperhatikan kendala-kendala sosiologis dan kultural yang mereka
hadapi. Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang
mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang
mereka hadapi.
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat
pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula
manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang
sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang
transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula
menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jati diri yang kuat, kita
tidak akan jatuh dan kehilangan jati diri. Paling tidak, demikian itu
yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja,
kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh pembangunan yang
sedang kita rencanakan kembali untuk dilaksanakan menuju masyarakat
Indonesia Baru. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kebanggaan,
keteguhan hati dan percaya diri yang tinggi dan tentunya malu untuk
korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar