Selasa, 07 Mei 2013

Sadar Budaya Melalui Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Guna Meredam Arus Global dan Mengembalikan Jati Diri Bangsa.

Saya mau re-post ni tulisan saya yang dimuat di salah satu website... semoga bermanfaat....

Sadar Budaya Melalui Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Guna Meredam Arus Global dan Mengembalikan Jati Diri Bangsa.

Oleh: Zul Astri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin.

Salah satu inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya dibicarakan, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan perspektif menemukan kembali jati diri dan identitas bangsa yang sudah mulai terkikis.

Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang berada di kawasan Asia Tenggara, tidak luput dari pengaruh globalisasi yang terus saja menggelinding bersama waktu yang juga ikut berputar. Pencerminan budaya pada era global pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi. Budaya yang muncul pada era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup yang biasanya kita lihat dari berbagai produk global yang sudah ada dewasa ini.

Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa budaya adalah cerminan kepribadian bangsa, kalau kita menyalahi norma, itu artinya kita tidak berbudaya. Sebenarnya pemahaman yang mendasar seperti inilah yang mesti kita pahami. Namun lain lubuk lain ikannya, lain negara lain pula budayanya. Indonesia dengan adat ketimurannya harus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat dari zaman pendahulu-pendahulu kita. Indonesia adalah negara yang besar, isu-isu negatif mengenai Indonesia, berkembang bukan kesalahan dari Negara ini tetapi terjadi karena orang-orang yang mengelola negara ini. Hasil riset dari Hong kong-based Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) versi 8 maret 2010 mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi pertama negara terkorup di kawasan Asia. Sedangkan Berdasarkan riset Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia menempati urutan 111 dari 180 namun statistik ini diurutkan dari negara yang terbersih dari korupsi ke negara yang terkorup. Apakah kita masih mau bertindak acuh tidak acuh dengan fakta ini, bukan Indonesia yang korupsi tetapi para pengelola negara. Sebenarnya mengapa mereka ingin korupsi?. Pertanyaan yang sangat mendasar tapi sangat sulit untuk mencari esensi jawaban sebenarnya. Ada yang mengatakan atas dasar kebutuhan ekonomi, untuk lebih sejahtera, memenuhi kebetuhan tersier (mewah) dan sebagainya. Apakah mereka termotivasi dengan orang Jepang yang memiliki banyak uang, mobil, kediaman yang mewah dan sebagainya. Hal tersebut sangat mungkin terjadi tetapi motivasi mereka salah arah. Mereka ingin maju tetapi dengan cara yang salah, orang Jepang bisa maju karena keuletan, kedisiplinan dan kerja keras mereka membuat sebuah inovasi baru, bukan dengan korupsi.

Apakah dengan fakta ini, kita masih bisa mengatakan bahwa pengelola negara ini memiliki orang-orang yang berbudaya. Sederhananya, orang yang mengambil milik orang lain artinya orang yang tidak bermoral dan tentunya menghancurkan budaya yang menjadi cerminan kepribadian bangsa dan proses penghancuran budaya ini tidak terlepas dari era globalisasi yang bagaikan pisau bermata dua, dimana disamping dampak positif banyak pula memberikan dampak negatif yang dapat menghilangkan jati diri bangsa.
Fragmentasi global yang kekuataannya tidak terelakkan tersebut di satu sisi justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan budaya (cultural shock). Hal itu terjadi dengan adanya ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan sosial yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Kebudayaan yang masuk ke suatu masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, kondisi seperti inipun juga dapat menimbulkan keguncangan budaya.

Dengan berbagai dampak negatif yang kita peroleh dari produk globalisasi kita tidak boleh serta merta mengatakan bahwa kita harus menolak globalisasi agar identitas dan jati diri bangsa bisa dikembalikan. Permasalahannya bukan pada era globalisasi semata. Contohnya saja, negara Jepang yang juga dijamah oleh globalisasi tetapi dengan kontruksi social masyarakat Jepang yang unik telah menjadikan Jepang sebagai bangsa yang memiliki identitas kultural yang kuat. Dalam studi kefilsafatan tentang masyarakat Jepang yang menjadi fokus perhatian terletak pada tiga aspek kajian utama yaitu aksiologis,epsitemologis dan ontologis. Dalam aspek aksiologis pada umumnya meletakkan fondasi dalam lingkup budaya yang berarti mengkaji tentang adat-istiadat, tradisi dan pakaian tradisional. Kajian ini sebagai studi relevansi terhadap budaya dalam realitas sosial. Dengan contoh negara Jepang yang bisa terlepas dari budaya westernisasi maka kita sebagai pengguna produk global harus bisa menyaring segala hal-hal yang bisa merusak dan menyebabkan keguncangan budaya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa dengan kembali pada nuansa kearifan lokal (local wisdom).

Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis atau karena akulturasi dan transformasi budaya yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan kebudayaan bangsa di atas dasar identitas sejumlah etnik yang mewarnai Nusantara ini.

Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Oleh karena itu, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk terus menggali dan ”memproteksi” kearifan lokal yang terdapat pada setiap etnik lokal lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya melalui pendidikan baik formal maupun informal.

Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal melalui pendidikan sadar budaya niscaya manusia didik diharapkan tidak terperangkap dalam situasi keterasingan. Atau menjadi “orang lain” dari realitas dirinya yang sebenarnya, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi sosial budaya.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya “lain”. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif. Dari sinilah pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dikatakan sebagai model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) yang mengacu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Materi pembelajaran harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata, berdasarkan realitas yang mereka hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, minat, dan kondisi peserta didik. Juga harus memperhatikan kendala-kendala sosiologis dan kultural yang mereka hadapi. Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi.

Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jati diri yang kuat, kita tidak akan jatuh dan kehilangan jati diri. Paling tidak, demikian itu yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja, kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh pembangunan yang sedang kita rencanakan kembali untuk dilaksanakan menuju masyarakat Indonesia Baru. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kebanggaan, keteguhan hati dan percaya diri yang tinggi dan tentunya malu untuk korupsi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar